13 January 2009

Itu Santa, Nak...

Meriah...
Sungguh meriah suasana menjelang Natal di Negeri Sakura. Kerlap-kerlip lampu beraneka warna menambah gemerlapan kota. Toko-toko dihias dengan begitu indah, seraya menawarkan discount besar-besaran. Tak ketinggalan sang pelayan mengenakan pakaian kebesaran berwarna merah, lengkap dengan topi runcing yang ada lampu neonnya.

Mereka tersenyum penuh keramahan, irashaimase... irashaimase..., teriaknya. Tamu adalah raja, sementara di negara kita raja hanya untuk mereka yang berbelanja dengan pakaian dan kendaraan mewah.

Malam pun tak kalah semarak dengan siang. Jalanan bagaikan diselimuti cahaya kunang-kunang, mengerubungi orang-orang yang berjalan-jalan untuk sekedar menghabiskan waktu ataupun kesuntukan rutinitas kerja. Kemeriahan semakin lengkap dengan banyak pohon Natal yang dihiasi hiasan cantik dan menarik. Lampu-lampu kecil, lonceng, bandul bola emas dan perak saling memantulkan cahaya bagai kerlingan mata bidadari yang cantik. Bagi orang Jepang, suasana menjelang dan Natal itu sendiri adalah saatnya bersuka ria, tanpa peduli dengan ritual agama.

Hmm.. aroma pesta pun tercium dimana-mana. Bercampur baur dengan alunan lagu Jingle Bells, Holy Night, Gloria ataupun Kurisumasu Omedetou, yang kadang menggoda untuk melagukannya.




Uups...!!!
Disentak, membuat langkahku terhenti,
"Jangan dipegang nak, nanti jatuh!" seraya tangan menahan keinginan si kecil.

Sekilas kutangkap matanya yang tadi berbinar-binar, berhasrat ingin menyentuh bola warna-warni yang tergantung di sebuah pohon natal imitasi. Ia hanya diam, tak berkata apa-apa.

Namun tak lama, terdengar teriakannya,
"Ibu..., mau beli ini!!!" seraya tangannya yang mungil menunjuk sebentuk permen dari berbagai bentuk yang berwarna-warni.

Aku hanya terpana, detak jantung pun seakan terhenti, "Itu Santa, nak..."
Syukurlah, ia sudah tau alasannya, tanpa perlu kujelaskan itu siapa dan mengapa.

Dialihkan pandangannya, sudut mata berpindah dari permen berbentuk Santa Claus kepada yang lainnya. Ekor mata cantiknya pun kembali berhenti, menatap penuh harap sambil berteriak,
"Kalau gitu yang ini aja, ini kan cuma yuki daruma!!!"

Lidahku kelu tak bisa berkata, hanya tarikan nafas yang terdengar. Aku tahu, sebenarnya bukan soal Santa, yuki daruma atau yang lainnya, tapi karena dia hanyalah anak-anak, sama seperti yang lainnya, suka dengan kemeriahan.

Pulang ke rumah, aku terpekur merenungkan apa yang telah dilalui, lalu mencoba menuliskannya kembali dalam rangkaian kata yang mudah-mudahan bermakna. Sepintas mata mengerling, si kecil begitu asyik dengan acara Christmas Gifts Packing di TV, wah... memang menarik. Tak sadar mata ini tak berkedip menatap acara yang penuh pesona itu hingga tuntas, lalu aku kembali terdiam.

Si kecil menoleh kepadaku, sedikit merajuk dan berteriak,
"Ibu..., mengapa tak mengatakan KIREEEI!!!"

Tanpa semangat, aku bergumam,
"Ya, memang cantik."

Yaa Robbi...
Jauh di lubuk hati, aku merasa telah berlaku tak adil. Bukankah sebuah fitrah bila mereka begitu menikmati kerlap-kerlip lampu yang menarik hati, bola-bola yang berkilau merah, biru, hijau, kuning dibercaki warna keemasan yang gemulai bergelantungan, atau pun hadiah yang berbungkus pita-pita indah? Lalu mengapa aku melarangnya?

Usia mereka yang begitu muda belum bisa direcoki dengan segala macam fatwa atau penjelasan detail tentang aqidah. Bagi mereka, semua itu hanyalah permainan, yang bisa membuat hati mereka terhibur dan sejenak bergembira.

Aku pun semakin dalam merenung, teringat Idul Fitri barusan.
Hujan deras, membuat kami basah kuyup, lalu pulang dengan kedinginan. Kembali menghadapi hari-hari sepi di rumah, justru di saat anak-anak seusia mereka selayaknya bergembira seperti di kampung halaman. Terbayang tingkah polah mereka yang pamer pakaian baru, sambil di kantong-kantongnya penuh dengan 'angpau'. Mereka saling berteriak riang gembira bersahut-sahutan, seakan berharap setiap hari adalah hari raya.

Sungguh besar harapan di Idul Fitri mendatang akan ada acara yang menarik buat mereka, agar mereka tahu bahwa mereka juga punya hari bahagia. Bukan sekedar rutinitas orang tua belaka, makan-makan di sebuah rumah rakyat yang besar, sementara anak-anak tak tahu berbuat apa, hanya terpaksa menonton berbagai macam gaya tertawa orang dewasa.

Drama sederhana tentang sejarah RasuluLlah SallaLlaahu Alayhi Wasallam, dengan mereka menjadi pemainnya, rasanya menarik untuk dilakukan, tentu itu akan menyenangkan hati mereka. Saat itu mereka bisa belajar tentang indahnya Islam, kepahlawanan, serta nikmatnya menjadi orang Islam.

Pun rasanya tambah meriah saat mereka menonton drama yang juga diperankan orang dewasa, ada adegan ibu yang menghibur anak-anaknya agar segera tidur padahal mereka kelaparan, lalu seorang laki-laki datang, wajahnya penuh uraian air mata sambil di punggungnya memikul beras dari arah Baitul Maal. Saat itu aku akan berteriak dengan penuh kebanggaan dan kerinduan akan sosok umara' sekaligus ulama,
"Itu Umar, Nak...!!!"

Salahkah aku begitu berharap?
Ah... rasanya tidak, bukankah mereka juga punya anak-anak, dan kita semua pernah menjadi anak-anak.

Wallahua'lam bi showab.

-Tulisan ini telah dimuat di buku Diary Kehidupan 2, Penerbit Asy-Syaamil, 2004. JazakiLlaahu khoir kepada Ummu Fadhl atas inspirasinya-

Catatan:
Irashaimase: selamat datang
Kurisumasu Omedetou: Merry Christmas
Yuki daruma: boneka salju
Kirei: cantik, indah

Disalin dari: http://abuaufa.multiply.com/journal/item/48/Itu_Santa_Nak...

No comments:

Post a Comment