30 December 2005

Suatu Sore di Hari Ibu

Suatu sore di Hari Ibu, 22 Desi 2005, saya pulang ke Klaten bersama Supra X yang statusnya milik ayahanda. Dalam momen seperti ini (bermotor) saya memiliki kebiasaan buruk yang bisa membahayakan keselamatan sepeda motor dan orang lain. Saya suka "melototin" mobil-mobil keren (terutama MPV dan SUV, selain sedan). Bahkan kalau belum puas, berusaha mengejarnya. Ada si kembar (Xenia-Avanza), CR-V, X-Trail, Kijang Innova, New Escudo, kembaran baru (APV-Maven), Jazz, Fortuner, ... Pokoknya asyik deh.

Selain belagak kampungan di atas, kadang saya suka mengejar akhwat yang ngebut, meski sering kalah sih. Sore itu, entah dari mana asalnya tiba-tiba di depan saya ada seorang akhwat melaju cukup kencang. Ya begitulah, saya mencoba mengejarnya. Beberapa kali dia berhenti di lampu merah, saya selalu mendapat hijau, tapi tetap tidak bisa mengejarnya! Entah sepeda motornya atau cara saya berkendara yang membuat si Supra X enggan melaju cepat. Selain itu jika melihat jarum spidometer menunjuk angka 80, saya berusaha untuk menurunkan lajunya. Ngeri euy!

Menyadari diri ini tidak akan berhasil mengalahkannya, saya kembali mengendarai dengan pelan. Lagipula akhwat yang dikejar sudah tidak kelihatan. Namun saat saya berhenti di lampu merah, akhwat yang tadi tiba-tiba muncul dari belakang. Dia berhenti di jalur kiri (jalur lambat) dan di atas zebra cross, kebiasaan buruk yang harus segera ditinggalkan. Rupanya dia tadi sempat mengisi bensin dan saya tetap kalah olehnya! Biarlah ia tetap melaju, saya harus berhenti untuk
sholat Maghrib dulu. Saya terlambat berjama'ah, tidak mendapat satu rakaat pun.

Tidak sedikit saya jumpai akhwat yang berkendara dengan laju cukup tinggi, bahkan di jalan dalam kota sekalipun. Beberapa kali saya diminta untuk mengawal akhwat yang pulang malam. Eh, lha kok saya malah ditinggal ngebut! :D

Oya, baju koko kesayangan saya yang robek (warna hijau) sudah dijahit oleh ibunda. Tidak perlu beli yang baru. (^_^)

24 December 2005

Kisahku dengan Bank Syariah

Kali pertama menggunakan bank syariah adalah saat-saat awal kuliah. Saat itu saya sudah memiliki rekening di sebuah bank negara di mana (mungkin seluruh) perguruan tinggi negeri menggunakan jasanya. Saat itu belum tahu jumlah bank syariah yang ada di Yogyakarta. Saat itu baru tahu satu bank syariah, yaitu yang ada di jalan K.H. Ahmad Dahlan.

Saya menuju ke lokasi dengan naik bus kota jalur 12 dan sampai di sana sekitar pukul 8 pagi. Udara masih terasa dingin. Di sana tidak terdapat mbak-mbak karyawan bank yang pakaiannya dapat merusak kesehatan mata, pikiran, dan hati. ;)

Setelah tanya beberapa hal pada mbak Customer Service Officer (kalau tidak salah namanya gitu), ternyata ada banyak keuntungan menggunakan bank tersebut. Selain membawa berkah (insya Allah sesuai motonya), bea administrasi bulanannya pun juga lebih murah, yaitu sebesar Rp 2.000. Di bank sebelumnya adalah sebesar Rp 5.000 dengan sama-sama memakai fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Karena merupakan unit usaha dari bank di mana saya sudah memiliki rekening, maka segala fasilitas bank induk dapat digunakan tanpa dikenakan biaya tambahan (termasuk pemindahbukuan antar rekening syariah-non syariah). Transaksi dapat dilakukan di semua kantor cabang dan ATM bank induk. Hanya saja ada beberapa menu transaksi di ATM yang belum tersedia untuk nasabah syariah.

Beberapa waktu kemudian saya melihat ada pamflet mengenai "short course" keuangan syariah yang diselenggarakan di Fakuktas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (FE UGM) oleh Shariah Economic Forum dengan biaya sekitar Rp 50an ribu (kalau tidak salah lho). Kursus diselenggarakan selama beberapa pekan dengan sekian pertemuan per pekan dan beberapa topik materi. Saya pun tertarik untuk mengikutinya. Namun hanya tertarik saja sih, tidak benar-benar ikut. Dalam bahasa Jawa, istilahnya adalah "pinginan".

Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai haramnya bunga bank, saya masih juga menggunakan bank non syariah karena ada sesuatu hal (terkait transaksi melalui ATM) yang membuat saya belum rela melepaskannya. Setelah sesuatu hal tersebut dapat diatasi, saya pun memindahkan seluruh dana yang ada (hingga tersisa sampai batas saldo minimal) ke rekening syariah.

Menindaklanjuti fatwa MUI tersebut, bank yang pertama murni syariah mengeluarkan produk yang sangat inovatif. Produk tersebut berupa paket perdana syariah yang berisi saldo tabungan dengan fasilitas yang sangat menarik. Karena dapat diakses di hampir (mungkin sudah seluruh) kabupaten di Indonesia, maka produk ini telah menggugurkan kedaruratan (sehingga diperbolehkannya) menggunakan bank non syariah. Saya tertarik dengan konsep dan segala fasilitas produk ini. Saya kan "pinginan" gitu loh. Hehe..

Saya juga antusias membaca berita tentang keuangan syariah di salah satu harian nasional terkemuka dengan menumpang baca di beberapa masjid kampus. Dan baru beberapa bulan yang lalu saya membeli produk inovatif itu. Ternyata benar-benar sangat menarik dan tidak ada bea administrasi bulanan (tentunya dengan syarat/kondisi tertentu).

Selepas seremonial pembukaan kantor kas Masjid Kampus UGM hari Kamis kemarin (21 Dzulqa'dah 1426), saya berbincang dengan salah seorang staf bank pertama murni syariah. Tidak disangka ternyata beliau juga orang Klaten!
"Mas asalnya dari mana?"
"Klaten, Pak."
"Lho, kula nggih saking Klaten! Klatene pundi, mas?"
"Kula saking ********. Lha panjenengan pundi?"
"Kula celak pabrik gula."

Beliau pun juga memberitahu lokasi kantor kas Klaten yang akan segera dibuka. Katanya terletak di sebelah timur terminal. Dari perbincangan dengannya, saya menemukan ide menarik, yaitu paket perdana syariah (yang kemasannya sungguh cantik) digunakan untuk mahar nikah! Haha..

Jadi nanti kira-kira begini, "Saya terima nikahnya mbak fulanah binti pak fulan dengan mahar sebuah paket perdana syariah yang telah terisi saldo sebesar _sekian_ rupiah, ... . Dibayarkan secara kredit melalui pembiayaan syariah."
Hihihi..

Ngomong-ngomong ada tidak ya, produk pembiayaan untuk pernikahan?? (^_^)

Alhamdulillah, kini bank syariah sudah bertebaran di mana-mana. Bagi rekan-rekan di UGM dan sekitarnya, sekarang sudah ada 2 bank syariah yang beroperasi di kampus ini lho. Kagem sedherek-sedherek Klaten, ing Klaten sampun wonten setunggal bank syariah (ngajeng Masjid Raya). Insya Allah wulan ngajeng badhe tambah setunggal malih ing sakcelakipun terminal.

Dahulu ibarat terdampar di sebuah pulau terpencil dan kelaparan. Di sana tidak ditemukan buah-buahan, umbi-umbian, ataupun binatang buruan yang halal untuk dimakan. Di pantainya pun tidak ada ikan.

Kini di pulau tersebut telah terdapat lahan pertanian, perkebunan, peternakan, maupun perikanan. Bahkan hasilnya telah dimasak dengan resep istimewa dan telah dihidangkan di meja jamuan. Tinggal menyantapnya saja. Hmm.. alangkah lezatnya.

Namun, saya sempat suudzon. Jika dilihat dari sejarah, bank pertama murni syariah memang benar-benar didirikan atas dasar prinsip syariah. Sedangkan bank-bank syariah yang baru mungkin saja didirikan karena pendiri bank tersebut melihat adanya keuntungan ("bussiness minded") dari penggunaan sistem syariah. Semoga saja anggapan saya ini salah. Semoga niat mereka dalam mendirikan bank syariah memang benar-benar lurus. Maafkan..


Oya, menindaklanjuti tentang haramnya penggunaan perangkat lunak bajakan, marilah kita dukung Perangkat Lunak Bebas dan OpenSource (PLBOS).
*Komputer tidak bisa dirontokkan oleh Brontok. Hahaha...*

Free dan Open Source Software, solusi masuk akal anti perangkat lunak ilegal. Insya Allah halal. (^_^)